Peluncuran dan Diskusi Buku “Filsafat yang Menjejak”

IMG_07192Judul buku ini ialah “Filsafat yang menjejak” dan didedikasikan kepada “Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi dan mereka yang menjejakkan filsafat” serta merupakan respon terhadap karya Ibu Toeti, “Berpijak pada Filsafat”. Oleh karena itu, setidak-tidaknya judul itu bisa diberi dua makna. Satu, yang diacu adalah filsafat yang berdiri, berpijak dan menapak pada bumi manusia. Dua, yang diacu adalah filsafat yang meninggalkan jejak-jejaknya dalam sejarah, karena menjejak dapat diartikan sebagai “membuat jejak”.

Dalam kedua arti itu, konsep “kaki” menjadi penting. Filsafat yang menjejak adalah filsafat yang “berkaki”. Filsafat bukan hanya aktivitas – meminjam Descartes – res cogitans yang sibuk dengan dirinya sendiri. Filsafat juga merupakan aktivitas “kaki”, betapa pun “kaki” sang filsuf masih lebih sering bersepatu atau bersandal dan jarang saja dalam keadaan telanjang (barefoot, seperti julukan bagi dokter kampung di China zaman Mao Zedong dulu). Filsafat lalu tidak hanya nangkring di menara gading seraya menciptakan mantra-mantra yang membius orang-orang yang ramai di pasar-pasar, di pangkalan angkot dan ojek, di pabrik-pabrik, di sawah ladang. Filsafat juga mengubah basis, menggali kebenaran (atau alternatif-alternatif baru) secara “radikal” (dalam istilah Drijarkara), seperti Sokrates dengan tubuh bersimbah peluh mengelilingi pasar lama dan bercakap-cakap dengan orang-orang yang dijumpainya pada musim panas kota Athena yang sangat menyengat.

Dengan mengambil judul “Filsafat yang menjejak”, maka filsafat pun diletakkan dalam metafor 41 berjalan” atau – meminjam Wedhatama -laku. Dalam salah satu bait dari pupuh Pocung, Wedhatama mengajarkan bahwa ngelmu iku kalakcne kanthi laku. Pengetanuan (episteme) itu baru efektif kalau dijalankan. Di sini sudah dapat diajukan sebuah catatan: meski sudah ada tulisan berjudul “Kebud3yaan: Perubahan, Nilai Etis dan Lokalitas” (Ganang Dwi Kartika) dan “Wajah Kebudayaan Indonesia: Antara Realitas dan Utopia” (Irmayanti Meliono) dari tujuh belas tulisan, tetapi tidak ada sama sekali uraiaiv tentang “Filsafat Indonesia”, “etika Jawa” atau “kearifan lokal Nusantara” dan semacamnya. Dr. Embun Kenyowati menjelaskan dalam pengantarnya, bahwa ide menerbitkan buku ini muncul pada 24 September 2013 antara dirinya dengan ibu Herminie Soemitro – tetapi nama itu hanya muncul sekali itu saja dalam buku ini. Dan pembaca yang mencari warisan dokter Abdullah Citroprawiro di Departemen Filsafat FIB-UI bagai – meminjam Chairil Anwar – “merangkaki dinding buta tak satu juga pintu terbuka”.

Maka metafor kaki yang menjejak di tanah mungkin lebih baik dikaitkan dengan visi Departemen Filsafat Ul yang menurut Dr. Vincen Jolasa berarti keterbukaan untuk “berdialog dengan ilmu-ilmu iain”. Dalam buku ini, ada 3 tulisan yang berdialog dengan pemikiran tentang kesenian, 2 tulisan tentang industri jasa kesehatan dan kesehatan masyarakat, 3 tulisan tentang masalah sosial seputar gender, 3 tulisan tentang agama, ide ketuhanan, dan penolakan atasnya; 2 tulisan tentang kebudayaan, 2 tulisan tentang metode filsafat dan ilmu pengetahuan (Dr. Achyar Yusuf Lubis dan Herdito Sandi Pratamaj. Dua tulisan lain adalah tentang keadilan menurut Amartya Sen (oleh Dr. Saraswati Putri) dan tentang eksistensialisme dalam pendidikan (Prof. Achmad Dardiri).

Di sini pun dapat diajukan catatan. “Ilmu-ilmu lain” sebagaimana dimaksud dalam visi Departemen tentunya lebih luas dari ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya. Dalam buku ini, hanya 3 dari 17 tulisan bersangkutan dengan “ilmu-ilmu alam”, yakni tulisan Dr. dr. Rudy Hartanto (“Bingkai Etika Bisnis Layanan Perawatan Kesehatan”) dan Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto (“Meretas Kompleksitas Kesehatan: Kontribusi Pendekatan Praktis Filsafat Universitas Indonesia”). Kedua tulisan itu benar-benar menampilkan apa yang oleh Paul Ricoeur disebut “posterior ethics” – atau “kakinya etika”.

Tulisan ketiga yang berhubungan dengan ilmu-ilmu aiam ialah tulisan Dr. Eko Wijayanto, “Catatan Kritis terhadap buku The Dawkins Delusion”, narnun yang diargumentasikan disini ialah ada tidaknya Tuhan, lagipula tidak dipaparkan bukti-bukti yang dimunculkan dalam argumentasi empiris (seperti misalnya dalam karya Ilya Frigogine dan Isabelle Stengers, La nouvelle alliance; Jacques Monod, L’hasard et la necessite; Ruthild Winkler, Das Spiel; dsb.). Tulisan ini menarik, kalau dihadapkan dengan tulisan yang persis mendahuluinya (Dr. Selu Margareta Kushendrawati, “Argumen Kosmoiogis Bruce Reichenbach: Dibutuhkan Kembali Argumen Teistik di Era Kontemporer”). Tapi, mengapa di era kontemporer kita butuh argumen teistik? Karena, “ilmu pengetahuan kontemporer mengakui banyaknya problem manusiawi fundamental yang tidak pernah dapat dipecahkan secara tuntas”. Sebenarnya, bisa diajukan “kematian” sebagai salah satu situasi batas. Apakah kematian (manusia) adalah “dari tiada kembali ke tiada” sehingga hidup bagaikan mainan gelembung sabun warna-warni yang terbang sebentar dan kemudian lenyap? Selama ilmu tak mengajukan bukti teniang kematian ini, selama itu tampaknya menganggap ide Tuhan sebagai delusion agak terlalu bombastis.

Penempatan tiga tulisan sosial-budaya-politik tentang gender secara berurutan juga sangat membantu. Pertama, Ikhaputri Widiantari dengan “Revolusi Bahasa Perempuan”, menyatakan bahwa “perempuan dapat membawa identitas maternal mereka dalam ruang publik dan tetap dalam ruang semiotik maternal”. Dr Gadis Arrivia (“Femimsme dan Demokrasi”) melanjutkan dan memperdalamnya dengan menyatakan bahwa dalam wacana demokrasi, hal itu (engendering) harus dillihat sebagai usaha membuka kesempatan ang seluas-luasnya bagi “pemikiran dan cara berada yang baru”. Dapat ditambahkan, bahwa pemikiran dan cara berada baru itu mungkin sebelumnya dianggap “tak lazim”, “tak normal”, bahkan “tak pantas”. Rocky Gerung (“Queer dan Demokrasi Radikal”) memuncaki argumentasi ini dengan menyatakan bahwa yang sering dianggap “tak lazim” itu pun perlu recognition. “Jadi pengalaman kemanusiaan seperti pada feminisme, lesbianisme dan queer adalah kekayaan relasi manusia yang justru membuat manusia terus berada dalam kondisi in the making”. Rasanya, konsep “pengalaman kemanusiaan” dan “kekayaan” perlu digarisbawahi dan diberi penjabaran lebih lanjut.

Yang tidak sempat dikomentari tidak berarti tidak penting. Komentar ini secara khusus amat tertarik dengan tulisan Dr. Naupal yang menyarankan perlunya jarak antara kehendak teks suci agama dengan kepentingan ideologi (juga kepentingan pribadi dan kelompok) pada peqafsir; Tommy Awuy, yang menarikan bahasanya tentang estetika tari. Dan sebagai penutup, mendiang Vincen Jolasa, dalam artikelnya, dan dengan mengutip Spirkin berkata bahwa:”Seorang filcuf sejati adalah seperti seorang penyair. Dia mesti memiliki dan memupuk… aesthetic gift of free associative thinking in integral images

Related Posts