Sejak tahun 2007, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) bersama Gerakan Kesejahteraan untuk Tunarungu Indonesia (Gerkatin) bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan kaum Tuli Indonesia, terutama melalui sektor pendidikan tinggi. Kenyataan menunjukkan masih rendahnya angka Tuli dalam studi pendidikan tinggi sehingga FIB UI berupaya mendorong perluasan akses bagi masyarakat Tuli untuk menempuh studi pendidikan tinggi melalui pendidikan dan riset bahasa Isyarat, khususnya Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Salah satu puncaknya adalah pada tahun 2013 ketika didirikan Laboratorium Bahasa Isyarat FIB UI (LRBI FIB UI), yang kemudian sejak saat itu hingga sekarang melakukan berbagai aktivitas pengenalan dan pemberian kompetensi penguasaan Bisindo kepada mahasiswa dan masyarakat luas demi memperluas akses komunikasi dan informasi masyarakat Tuli dengan masyarakat dengar.
Hal itu pula yang mengemuka dalam Diskusi Terpumpun (FGD) tentang pendidikan bagi masyarakat Tuli antara FIB UI dan Pimpinan Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) pada Rabu, 1 Oktober 2025, bertempat di FIB UI. Hadir dalam FGD tersebut Pimpinan Kemenko PMK yang diwakili oleh Asisten Deputi (Asdep) Kesejahteraan Lanjut Usia dan Penyandang Disabilitas, Ricky Radius Siregar; Analis Kebijakan Ahli Madya, Zuraini; Perencana Ahli Muda, A. Budi Santoso; Perencana Ahli Pertama, Arief Rachman H.; dan Analisis Kemitraan, Irliene Febriana. Sementara itu, dari pihak FIB UI hadir Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan, Dr. Untung Yuwono, S.S.; Kepala LRBI FIB UI, Silva Tenrisara Pertiwi Isma, M.Hum., M.A., yang juga ahli bahasa Isyarat; Ketua Program Pascasarjana Linguistik, Dr. Triaswarin Sutanarihesti, M.Hum.; Dosen Linguistik FIB UI, M. Umar Muslim, Ph.D.; beberapa juru bahasa Isyarat; dan penutur jati bahasa isyarat yang juga bergabung dalam LRBI FIB UI.
Dalam FGD, Ricky Radius Siregar menyampaikan bahwa saat ini Pemerintah melalui kementerian-kementerian terkait sedang berupaya mengakselerasi pemajuan pendidikan bagi masyarakat difabel, tidak terkecuali bagi masyarakat Tuli. Oleh karena itu, diperlukan kajian akademis yang memperlihatkan kinerja masyarakat difabel dalam studi mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Dalam konteks pendidikan bagi masyarakat Tuli, salah satu faktor yang mendukung keberhasilan para siswa di sekolah adalah bahasa yang digunakan, yaitu bahasa isyarat. Pada kenyataannya, ada dua moda yang digunakan oleh masyarakat Tuli di Indonesia, seperti Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI).
Merespons paparan Asdep Kesejahteraan Lanjut Usia dan Penyandang Disabilitas Kemenko PMK tersebut, Untung Yuwono mengemukakan latar belakang kerja sama antara FIB UI dan Gerkatin, yaitu memperluas kemampuan Bisindo tidak hanya kepada orang Tuli, tetapi juga orang dengar, melalui kuliah dan kursus yang tidak hanya ditawarkan baik kepada mahasiswa UI maupun masyarakat luas. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesalingpahaman antara masyarakat dengar dan masyarakat Tuli melalui komunikasi aktif antara masyarakat dengar dan masyarakat Tuli dengan menggunakan Bisindo, bahasa isyarat yang paling banyak digunakan serta meningkatkan akses informasi keilmuan bagi masyarakat Tuli melalui komunikasi aktif dengan masyarakat dengar. Diharapkan pada ujungnya, potensi dan minat masyarakat Tuli untuk menempuh studi pada pendidikan tinggi meningkat.

Silva Tenrisara Pertiwi Isma mengemukakan bahwa tiap tahun sejak tahun 2007 kuliah Bahasa Isyarat Indonesia diikuti oleh tidak kurang dari 200 orang mahasiswa, belum lagi melalui kursus dan pelatihan. Interaksi antara komunitas Tuli dan komunitas dengar makin meningkat dan minat komunitas Tuli untuk menempuh studi makin tinggi. Hal itu dicapai berkat kerja sama antarberbagai pihak, tidak terkecuali kerja sama dengan mitra internasional seperti Nippon Foundation yang hingga tahun 2023 memberikan hibah pengembangan bahasa isyarat bagi LRBI yang digunakan untuk memproduksi aneka media pembelajaran, khususnya kamus cetak dan kamus visual.
Umar Muslim berpendapat bahwa saat ini sekolah-sekolah masih membelajarkan SIBI kepada siswa Tuli. Ia setuju dengan Kemenko PMK tentang diperlukannya kajian yang komprehensif tentang pemakaian bahasa, apakah SIBI yang selama ini diajarkan di sekolah efektif digunakan dan mendukung kinerja yang baik para siswa Tuli dalam mengikuti pelajaran di sekolah sehingga pada akhirnya mampu lanjut studi, bahkan hingga pendidikan tinggi. Pada kenyataannya, SIBI merupakan sistem bahasa Indonesia yang diisyaratkan sehingga relatif lama bagi para siswa untuk menguasainya. Karakteristik itu berbeda dengan Bisindo yang merupakan bahasa alamiah sekaligus bahasa jati masyarakat Tuli sehingga memudahkan bagi penutur Tuli untuk berkomunikasi.
Apa yang dikemukakan oleh pihak FIB UI tentang karakteristik Bisindo sebagai bahasa jati masyarakat Tuli dibenarkan oleh para penutur Bisindo dalam FGD ini. Adhi Kusumo Bharoto, Phieter Angdika, dan Iwan Satryawan. Efektivitas Bisindo terlihat dengan makin banyaknya teman-teman Tuli yang mampu menempuh studi pendidikan tinggi dengan berbekal penguasaan Bisindo. Sebagai hasil FGD, dari masukan-masukan yang diperoleh, FIB UI dan Kemenko PMK bersepakat untuk melanjutkan upaya yang telah dilakukan oleh FIB UI bersama komunitas Tuli untuk berkolaborasi, khususnya dalam melakukan pengkajian terkait efektivitas pemakaian bahasa isyarat di Indonesia untuk mendukung Pendidikan untuk Semua (Education for All) seperti yang diamanahkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Ke-4.




