Depok, 6 Agustus 2025 — Dalam momen sakral pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Laksmi, S.S., M.A. menyampaikan pidato ilmiah yang menggugah kesadaran kolektif tentang salah satu isu paling mendasar dan mendesak di Indonesia: krisis modal intelektual di berbagai level organisasi. Dalam pidato berjudul “Budaya Informasi sebagai Strategi Mengatasi Krisis Modal Intelektual dalam Organisasi”, Prof. Laksmi menekankan bahwa lemahnya pengelolaan pengetahuan, sistem informasi, dan kolaborasi dalam lembaga-lembaga publik maupun privat telah menyebabkan berbagai krisis yang berdampak luas terhadap masyarakat. Ia menegaskan bahwa organisasi bisa saja memiliki sumber daya, tetapi tanpa pengelolaan modal intelektual yang baik—yakni pengetahuan, keterampilan, sistem, dan jaringan yang efektif—organisasi akan rapuh dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman. Pernyataan ini disampaikannya di hadapan para akademisi, mahasiswa, dan tamu undangan yang memenuhi Balai Sidang UI.
Dalam paparan ilmiahnya, Prof. Laksmi membedah krisis modal intelektual menjadi tiga aspek utama: modal manusia, modal struktural, dan modal relasional, yang dalam konteks ini, ketiganya bekerja secara berkelindan mengkonstruksi budaya informasi. Ia menyampaikan beragam studi kasus dan data empirik yang menunjukkan dampak langsung dari lemahnya pemanfaatan modal intelektual terhadap penurunan kinerja organisasi, kegagalan kebijakan publik, serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi. Dalam krisis modal manusia, ia menyoroti kasus seorang juru bicara pemerintah yang mengeluarkan pernyataan meremehkan terhadap simbol ancaman yang ditujukan kepada jurnalis. Menurutnya, ketidakmampuan memahami makna simbolik dalam komunikasi publik mencerminkan lemahnya literasi informasi dalam lingkup kekuasaan. Sementara itu, pada krisis modal struktural, ia menyinggung kasus kegagalan ribuan siswa masuk perguruan tinggi melalui jalur prestasi akibat kelalaian input data oleh sekolah. Prof. Laksmi menilai bahwa permasalahan ini mencerminkan kegagalan sistem informasi yang tak hanya menghambat proses administratif, tetapi juga menghancurkan harapan generasi muda. Sedangkan pada aspek krisis modal relasional, ia menyoroti proses revisi Undang-Undang TNI yang dilakukan tanpa melibatkan publik dan akademisi, yang menurutnya menunjukkan rapuhnya kepercayaan publik serta menurunnya komitmen terhadap transparansi dan demokrasi dalam penyusunan kebijakan negara.
Sebagai jawaban atas krisis multidimensi tersebut, Prof. Laksmi menawarkan budaya informasi sebagai pendekatan strategis untuk memulihkan dan memperkuat ekosistem organisasi. Ia menjelaskan bahwa budaya informasi bukan sekadar soal teknologi atau pengumpulan data, tetapi mencakup nilai, norma, dan praktik dalam menciptakan, menggunakan, serta menyebarkan informasi secara bertanggung jawab dan kritis di dalam organisasi. Dalam pandangannya, informasi bukan hanya data yang tersimpan, melainkan jantung kehidupan organisasi. Jika aliran informasi tersumbat, maka organisasi akan kehilangan daya pikir, kehilangan responsivitas, bahkan kehilangan daya tahan. Ia menyamakan peran informasi dengan aliran darah dalam tubuh manusia—sesuatu yang vital dan menentukan kelangsungan hidup.
Dalam konteks itu, Prof. Laksmi menggarisbawahi perlunya membangun sistem manajemen pengetahuan yang terdokumentasi baik secara eksplisit maupun tacit, menciptakan ruang komunikasi yang terbuka dan transparan dalam lingkungan kerja, serta mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) secara relevan dan kontekstual sesuai kebutuhan organisasi. Ia juga menekankan pentingnya menjadikan organisasi sebagai ruang belajar yang hidup—yang senantiasa mengevaluasi praktik kerja, merefleksikan pengalaman, serta mentransformasikan diri dari waktu ke waktu. Baginya, budaya informasi adalah kunci bagi organisasi untuk menjadi tangguh, inovatif, dan adaptif di tengah lanskap dunia yang terus berubah.
Menutup pidatonya, Prof. Laksmi mengajak seluruh pihak—baik dari sektor pendidikan, pemerintahan, layanan publik, hingga swasta—untuk memulai perubahan dari dalam organisasi masing-masing. Ia menekankan bahwa membangun budaya informasi bukanlah pekerjaan satu malam, tetapi merupakan investasi jangka panjang yang akan menentukan daya saing dan keberlanjutan lembaga. Ia mengajak hadirin untuk merefleksikan kembali bagaimana organisasi saat ini mengelola informasi: apakah sudah bijak dalam memanfaatkannya, apakah sudah membuka ruang dialog yang sehat, dan apakah informasi telah menjadi fondasi dalam pengambilan keputusan. Sebagai penutup, ia mengutip Dalai Lama: “Ketika Anda berbicara, Anda hanya mengulang apa yang sudah Anda ketahui. Namun, jika Anda mendengarkan, Anda mungkin mempelajari sesuatu yang baru.”
Prof. Dr. Laksmi adalah akademisi senior yang telah lama berkecimpung dalam bidang ilmu perpustakaan, informasi, dan budaya. Pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam ranting ilmu/kepakaran Budaya dan Manajemen Lembaga Informasi pada hari Rabu, 6 Juli 2025 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi tertanggal 11 April 2025 nomor 551/M/KPT.KP/2025 tentang kenaikan jabatan akademik dosen.
Tema yang diangkat dalam orasi ilmiah pengukuhan guru besar yang disampaikan sesuai dengan latar belakang Prof. Laksmi sebagai dosen di Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi (DIPI) FIB UI. Ia menamatkan S1 di Universitas Indonesia pada tahun 1990 pada program studi Sastra Prancis dan melanjutkan studi magister dalam bidang Library Science di University of Sheffield, Inggris dan lulus pada tahun 1993. Gelar Doktor diperolehnya di tahun 2010 dalam bidang Antropologi di Universitas Indonesia. Prof. Laksmi menjabat sebagai Ketua Program Studi S1 Ilmu Perpustakaan tahun 2016-2020, Ketua Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi tahun 2011-2015, Ketua Prodi S2 Ilmu Perpustakaan 2011-2015, dan anggota Senat Akademik FIB UI sebagai anggota ex officio tahun 2011-2015. Pada tahun 2024, Prof. Laksmi dianugerahi penghargaan Juara 2 dosen dengan riset terproduktif FIB UI. Beberapa karya tulisnya yang pernah diterbitkan dalam lima tahun terakhir di jurnal terindeks Scopus, antara lain “The Role of Librarians Combatting Cultural Violence in the Library Environment” pada jurnal Library Leadership & Management (2025), “School librarian experience as an agent in fostering a reading culture” pada jurnal International Federation of Library Associations and Institutions (2024),“Health Information Behavior of Indonesians During the COVID-19 Pandemic: A Sensemaking Perspective” pada Journal of Information Science Theory and Practice (2024), “Social Adaptation through Digital Literacy among LIS Students in Post-COVID-19 in Indonesia.” pada Journal of Library and Information Studies (2024), dan“The readiness to implement digital humanities data curation of four institutional repositories in Indonesia” pada jurnal Digital Library Perspectives (2023). Beberapa karya buku dan bahan ajar yang diterbitkan di tahun 2024 antara lain Informasi dalam konteks sosial dan budaya oleh penerbit Wedatama Widya Sastra dan Dep. Ilmu Perpustakaan dan Informasi FIB UI, dan book chapter dalam Tren dan Dinamika Kajian Ilmu Perpustakaan dan Informasi oleh penerbit BRIN, dan Profesi Pustakawan terbitan Universitas Terbuka.
Pengukuhan Prof. Laksmi sebagai Guru Besar bukan hanya menjadi tonggak pribadi dalam perjalanan akademiknya, tetapi juga menjadi momen penting bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia untuk merenungkan kembali peran vital budaya informasi dalam menjawab tantangan zaman.