Dosen Program Studi Arab dan Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Prof. Muhammad Luthfi, M.A., Ph.D. dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Susastra pada hari Sabtu, 10 Desember 2022, berdasarkan Surat Keputusan Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) tertanggal 1 September 2022. Prosesi pengukuhan guru besar ini dipimpin Sekretaris Dewan Guru Besar (DGB) UI, Prof. Dr. drg. Indang Trihandini, M.Kes., di Balai Sidang UI, Kampus Depok, dan disiarkan secara virtual melalui kanal Youtube UI Teve.
Pada upacara pengukuhannya Prof. Luthfi menyampaikan pidato ilmiah berjudul “Sastra sebagai Media Diplomasi dalam Upaya Memperoleh Pengakuan Kemerdekaan” yang menitikberatkan pada peran politik sastra dalam diplomasi budaya.
Sejarah mencatat, ketika terjadinya kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada 17 Agustus 1945, belum sepenuhnya “merdeka” di dunia internasional. Hal tersebut berhubungan dengan masalah “pengakuan” dari negara-negara lain, karena Indonesia perlu memiliki hubungan diplomasi yang kuat jika ingin menggaungkan kedaulatan Republik Indonesia (RI). Seorang dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Prof. Muhammad Luthfi, M.A., Ph.D., dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Sastra sebagai Media Diplomasi dalam Upaya Memperoleh Pengakuan Kemerdekaan”, memperlihatkan sebuah alat diplomasi penting yang digunakan untuk memperkuat hubungan internasional. Alat tersebut adalah sastra budaya. Prof. Luthfi menjelaskan tentang peran politik sastra dalam diplomasi budaya. Belajar dari kesusastraan Arab pada jaman Pra-Islam maupun pada masa Dinasti Umayah sekitar akhir abad ke-7 Masehi, sastra dan sastrawan mempunyai arti penting secara sosial dan politik.
Untuk melakukan sebuah hubungan diplomasi, Indonesia perlu melakukannya dengan jalur government to government maupun people to people. Tentunya, kedua hal tersebut sudah dilakukan oleh Indonesia dengan jalur government to government yang dipimpin oleh Haji Agus Salim dan Ali Ahmad Bakatsir sebagai peran penting di jalur people to people. Keduanya dikirimkan ke negara-negara Arab untuk mengajak negara-negara tersebut agar mengakui kemerdekaan Indonesia.
Setelah dikirimnya kedua utusan, negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia adalah negara Mesir dengan Ali Ahmad Bakatsir, seorang sastrawan Indonesia keturunan Hadramaut, yang berhasil menarik simpati negara Mesir. Bakatsir dengan salah satu karya sastranya dalam bentuk drama yang berjudul “Audatul Firdaus”, dipentaskan di Kairo Mesir dan menjadi alat pemantik negara Mesir untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada 10 Juni 1947. Drama ini memiliki empat babak dengan kisah perjuangan yang dilakukan oleh Sutan Syahrir dan Soekarno saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
“Salah satu poin penting dalam cerita drama ini adalah nama Soekarno sebagai presiden RI pertama ditambahkan kata Ahmad sehingga disebut dengan Ir. Ahmad Soekarno. Nama Ahmad Sukarno-lah yang kemudian menjadi populer di Mesir. Oleh karena itu, rakyat Mesir mengetahui bahwa Indonesia yang baru saja merdeka adalah negara muslim yang dipimpin oleh seorang muslim, sehingga perlu didukung kemerdekaannya oleh bangsa Mesir,” ujar Prof. Luthfi.
Prof. Luthfi mengatakan, bahwa sastra merupakan alat yang lazim digunakan untuk tujuan sosial dan politik. Selain Ali Ahmad Bakatsir, tokoh lain seperti Mahmoud Darwish, Nizar Qabbani, dan Fadwa Tuqan menjadikan karyanya sebagai media untuk memperjuangkan pengakuan terhadap kemerdekaan Palestina.
Prof. Luthfi memberikan contoh lain untuk sastra sebagai alat diplomasi internasional, yaitu pergerakan Napoleon Bonaparte saat di Mesir (1798-1801) dengan membawa tentara dan 167 ilmuwan serta mesin cetak yang kemudian mendirikan Lembaga ilmiah bernama “Institute d’Egypte”. Lembaga ini memiliki beberapa bidang dengan ilmu sastra sebagai salah satu penelitiannya. Lembaga tersebut memiliki sebuah tajuk “La Decade Egyptienne” di bidang sastra dengan menerbitkan majalah, surat kabar, dan buku-buku yang berhubungan dengan karya sastra (dan ilmu lainnya juga).
Tema diplomasi budaya yang diangkat dalam orasi ilmiah pengukuhan guru besar ini sesuai dengan latar belakang Prof. Luthfi, yang selain sebagai pengajar di Program Studi Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, juga pernah menjadi Diplomat yaitu Ketika menjabat sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Kedutaan Besar RI di Riyadh, Saudi Arabia 2009-2013. Kajian tentang Sastra dan Diplomasi Budaya belum banyak dikembangkan, sehingga apa yang disampaikan oleh Prof Luthfi dalam orasi ilmiahnya sangat besar kontribusinya terhadap perkembangan kajian kesusastraan, terutama kesusastraan Arab, saat ini.
Prof. Luthfi menempuh pendidikan S1 di Fakultas Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Islam Madinah, Arab Saudi (1979–1982); S2 di Fakultas Sastra dan Ilmu-Ilmu Humaniora, Yarmouk University, Yordania (1983–1987); dan S3 di Fakultas Sastra dan Ilmu-Ilmu Humaniora, Jordan University, Yordania (1988–1992). Saat ini, Prof. Luthfi menjabat sebagai Kepala UI Halal Center (UIHC), setelah sebelumnya pada 2019–2020, menjabat sebagai Wakil Rektor UI Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset.
Beberapa karya ilmiah terbaru yang ditulis oleh Prof. Luthfi, antara lain Dinamika Sastra dan Budaya Arab Modern (2022); Palestine in the Perspective of Nizar Qabbani: The Critical Discourse Analysis in The Poems of Nizar Qabbani (2022); Challenges and Opportunities of Halal Food Industry Industry of Indonesia in Global Market (2022); Ruang Ketiga dan Konstruksi Identitas: Hibriditas dalam Karya Mahmoud Darwish (2021); dan Nationalism in the Season of Revolution–The Work of Syrian, Libyan, and Egyptian Poets (2020).