Presiden KOICA Berbagi Pengalaman dalam Talk Concert di FIB UI

Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) menyelenggarakan “Talk Concert with KOICA President” pada Senin (4/3) dengan menghadirkan Presiden KOICA (Korean International Cooperation Agency), Lee Mi-Gyeong sebagai narasumber utama. Acara ini diselenggarakan di Auditorium Gedung I FIB UI. Kunjungan delegasi KOICA ke FIB UI juga merupakan tindak lanjut dari kerja sama kedua belah pihak yang telah dijajaki sebelumnya.

Talk Concert ini dihadiri oleh Dekan FIB UI, Dr. Adrianus Laurens Gerung Waworuntu, S.S., M.A. beserta para Wakil Dekan dan Manajer FIB UI, Ketua Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea, Eva Latifah, Ph.D, para dosen serta mahasiswa FIB UI, khususnya dari Prodi Bahasa dan Kebudayaan Korea. Ade Triana Lolitasari M.S.B.A bertindak sebagai moderator. Talk Concert dalam Bahasa Korea ini dikemas dengan suasana santai yang hangat, sehingga bincang-bincang membawa para peserta antusias mendengarkannya. Di dalam bincang-bincang, terdapat 3 mahasiswa yang menemani Presiden KOICA berbicara di tengah panggung, yaitu Marsya, mahasiswa tahun ke-4 yang juga menjadi Vice PO Pacific Asian Society, Zarra, yang mendapat beasiswa selama 1 tahun untuk kuliah di Yonsei University, dan Dinar yang baru saja lulus dan menjadi perwakilan Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea sebagai penerima IPK tertinggi.

Di dalam paparannya tentang pendidikan di Indonesia dan Korea, Presiden KOICA menyampaikan salah satu hal yang membuat ia terkesan dengan Indonesia adalah karena banyaknya kampus yang bagus, yang menunjukkan kemungkinan Indonesia untuk terus berkembang. Di Korea, pendidikan adalah hal yang sangat penting, terbukti dengan para orang tua yang sangat memprioritaskan sekolah yang terbaik untuk anak.

Sementara itu, para perwakilan mahasiswa mengemukakan pendapatnya mengenai Indonesia pada saat ini. Marsya berpendapat, saat ia mendengar kata “damai” yang pertama kali ia ingat adalah konflik. Selama tinggal di Indonesia, dengan beragam agama, ras dan lainnya adalah hal yang wajar jika terjadi konflik. Menurut Masya, dengan saling menghargai satu sama lain jalan keluar yang paling baik akan diperoleh. Presiden KOICA berpendapat bahwa wajar terjadi konflik di negara yang multikultural seperti Indonesia. Sejak pertama kali kedatangannya ke Indonesia, jika dibandingkan dengan sekarang, perkembangan demokrasinya sudah dirasa lebih baik

Zarra memberikan pendapatnya tentang pendidikan di Indonesia yang tidak merata; kuliah yang dianggap baik adalah kuliah yang berada di pusat kota. Presiden KOICA menanggapi bahwa pola pikir seperti itu juga terjadi di Korea. Ini harus diubah karena semua pendidikan adalah baik, dan pendidikan yang baik harus tersebar di seluruh daerah. Dinar berpendapat tentang hak-hak wanita. Seperti yang dapat dilihat, 80 persen dari mahasiswa Prodi Bahasa dan Kebudayaan Korea adalah wanita. Setelah ia bertemu dengan teman-teman sesama program studi, ia belajar untuk menjadi lebih percaya diri, dan sekarang ia mempersiapkan diri untuk studi pascasarjana di luar negeri. Presiden KOICA sangat kagum atas pemikiran mahasiswa-mahasiswa tersebut yang cukup dalam. Ia juga berpendapat bahwa wanita tidak seharusnya dikucilkan dan pemikiran tentang wanita tidak bisa mendapat pendidikan yang tinggi harus diubah. Semua manusia berhak untuk mengumpulkan banyak pengetahuan yang ia mau, tidak peduli itu laki-laki atau perempuan.

Setelah diskusi, acara tersebut di tutup oleh 2 tarian tradisional Korea, yaitu, Talchum (Tari Topeng) oleh mahasiswi Prodi Bahasa dan Kebudayaan Korea angkatan 2017 dan Buchaechum (Tari Kipas) oleh mahasiswi Prodi Bahasa dan Kebudayaan Korea angkatan 2017. FIB memberikan kenang-kenangan kepada Presiden KOICA, yang disampaikan oleh Wakil Dekan bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan, Manneke Budiman, Ph.D. Acara ditutup dengan foto bersama.

Related Posts