Dalam Rangka Dies Natalis ke-78 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) diselenggarakan diskusi ilmiah “Diaspora Jawa di Suriname” pada hari Kamis, 29 November 2018 pukul 13.00 – 15.30 WIB di Ruang 1103 (Auditorium gedung I) FIB UI, Kampus UI Depok. Diskusi ilmiah ini dihadiri oleh para dosen dan mahasiswa FIB UI serta masyarakat umum yang tertarik tentang isu-isu tersebut. Acara dibuka dengan sambutan Dekan FIB UI yang disampaikan oleh Ibu Nurni Wahyu Wuryandari, Ph.D., selaku Manajer Pendidikan FIB UI.
Dalam kesempatan ini diskusi ilmiah membahas beberapa isu penting, yaitu: (1) Konteks riset ilmu pengetahuan (2) konteks pembangunan kerja sama bilateral Indonesia – Suriname, dan (3) konteks sejarah masyarakat Jawa di Suriname. Isu pertama disampaikan oleh dosen Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa FIB UI, Prof. Dr. Titik Pudjiastuti; isu kedua disampaikan oleh Dirjen Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri RI, Bapak Muhammad Anshor; dan isu ketiga disampaikan oleh Bapak Kolonel Laut (Purn) Sarmoedjie, perwakilan dari Paguyuban Jawa Asal Suriname.
Jauh sebelum Pemerintah Republik Indonesia mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara resmi ke Luar Negeri, ternyata antara tahun 1890 s/d 1939 (selama 50 tahun), Pemerintah Kerajaan Belanda yang pada waktu itu menjajah Indonesia, telah berhasil mengirim dan mempekerjakan 32.956 orang TKI asal Pulau Jawa ke Suriname, Amerika Selatan. Tujuan pengiriman TKI itu adalah untuk menambah kekurangan tenaga kerja di beberapa perkebunan yang ada di Suriname. Kekurangan tenaga kerja itu adalah sebagai akibat dihapus dan dibebaskannya ”sistem” perbudakan pada tanggal 1 Juli 1863. Dampak dari penghapusan dan pembebasan sistem perbudakan itu, banyak perkebunan yang semula dikerjakan oleh para budak, menjadi tidak terurus, bahkan terlantar. Akibatnya perekonomian Suriname yang semula sangat mengandalkan hasil perkebunan, menjadi turun drastis.
Gelombang pertama pengiriman TKI diberangkatkan dengan kapal laut SS Koningin Emma dari pelabuhan Batavia (Jakarta) pada tanggal 21 Mei 1890. Setelah kapal singgah di Negeri Belanda, akhirnya kapal tiba di Suriname pada tanggal 09 Agustus 1890. Oleh masyarakat Indonesia baik yang saat ini masih tinggal di Suriname maupun yang sudah pindah ke Negeri Belanda, menyatakan bahwa setiap tanggal 09 Agustus harus selalu diperingati, dikenang dan dirayakan sebagai suatu tanggal yang sangat bersejarah.
TKI gelombang kedua sebanyak 582 orang, tiba di Suriname pada tanggal 16 Juni 1894 dengan kapal SS Voorwaarts. Karena muatan kapal kedua ini melebihi kapasitas, maka kapal kelebihan muatan, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai kapal angkut personil. Akibatnya 64 orang penumpang kapal meninggal dunia dan 85 orang harus dirawat di rumah sakit, setelah kapal tiba di pelabuhan Paramaribo, Suriname.
Kejadian yang menyedihkan ini tidak ada tanggapan dari Pemerintah Belanda, bahkan begitu saja dilupakan. Mungkin Pemerintah Kerajaan Belanda beranggapan bahwa mereka yang meninggal itu hanya para pekerja miskin, sehingga tidak perlu ada tindakan apa-apa. Meskipun demikian, pengiriman tenaga kerja ini berjalan terus sepanjang tahun sampai dengan pengiriman TKI kapal terakhir sebanyak 990 orang, yang tiba di Suriname pada tanggal 13 Desember 1939.
Dari tahun 1890 s/d 1914 rute pelayaran kapal yang ke Suriname singgah di Negeri Belanda, selebihnya tidak. Pengiriman TKI itu menggunakan 77 buah kapal laut, dilaksanakan oleh Perusahaan Pelayaran Swasta, De Nederlandsche Handel Maatschappij. Tetapi sejak tahun 1897 pengiriman TKI dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun orang-orang Indonesia ini telah 128 tahun tinggal di Suriname, kenyataannya mereka masih memiliki adat dan kebiasaan seperti di Pulau Jawa, antara lain masih ditemukan pesta tayuban, wayang kulit, wayang orang, ludruk, tarian jaran kepang, dll. Di District tertentu yang sebagian besar penduduknya orang-orang Indonesia, “suasana Jawa” masih terasa kental. Sayangnya, bahasa Indonesia belum dimengerti, karena memang belum diajarkan secara intensif. Sedangkan bahasa Jawa “ngoko” hanya diajarkan secara sepintas oleh keluarga dan kalangan terbatas terutama yang orang tuanya menggunakan bahasa Jawa. Sekedar untuk berkomunikasi intern keluarga di rumah. Contohnya mereka yang tinggal di “District orang-orang Jawa”, pada umumnya mereka bisa dan mengerti Bahasa Jawa, walaupun tidak lancar. Bahasa lain yang bisa dikatakan sebagai “Bahasa Nasional Kedua” adalah Sranangtongo atau Taki-Taki. Bahasa ini digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari dan dimengerti oleh mereka yang berasal dari Suriname.
Diskusi ilmiah yang memperhatikan keberadaan diaspora Jawa di Suriname merupakan pembahasan yang menarik dalam rangka dies natalis FIB UI yang ke-78 ini, yang mengusung tema “Jawa Dulu, Kini dan Esok”. Bagaimana peran masyarakat keturunan Jawa di Suriname dalam bidang sosial keagamaan, sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya menjadi fokus pembahasan. Untuk memberdayakan masyarakat Jawa di negara “Indonesia pada pantai Lautan Atlantik” itu Republik Indonesia mengadakan program kerja sama bilateral melalui kementerian terkait bersama Kedutaan Besar RI di Paramaribo yang dikoordinasikan oleh Kementerian Luar Negeri Direktorat Jendral Amerika dan Eropa Direktorat Amerika II. Diskusi ilmiah ini diharapkan dapat menginspirasi pihak-pihak terkait untuk turut serta dalam memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya sosial humaniora konteks area studies di FIB UI; memberdayakan masyarakat Jawa di Suriname dalam meningkatkan taraf kehidupan mereka melalui kerja sama bilateral Indonesia – Suriname; dan menumbuhkan rasa satu ikatan sebagai warga masyarakat Jawa melalui memori sejarah masa silam.