R.A Kartini, dalam sejarah Indonesia, dikenal sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita di Indonesia, khususnya di awal abad ke-20. Bentuk perjuangannya tercantum dalam surat-surat yang ditulis R.A. Kartini kepada sahabat penanya, yang kemudian disusun oleh Mr. J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Pemerintah Hindia-Belanda, menjadi sebuah buku berjudul “Door Duisternis tot Licht, Gedachten van R.A Kartini”. Buku itu kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Konon judul itu diambil karena judul itu yang paling sering dipakai R.A Kartini dalam surat-suratnya.
Adalah Dr. Paul Bijl, Asisten Profesor bidang kesusasteraan Belanda modern dari Universitas Amsterdam, yang kini sedang melakukan penelitian tentang masyarakat Indonesia yang pernah mengalami kolonialisme Belanda, dikaitkan dengan penegakan hak asasi manusia, hukum, dan keadilan. Dalam acara Ceramah Ilmiah “Kartini and Human Rights” yang digelar oleh Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Kamis (14/04/2016), Paul Bijl mengungkapkan bahwa tulisan Kartini dalam surat-surat kepada para sahabatnya yang notabene adalah warga negara Belanda, seperti Mr J.H Abendanon dan Nyonya Abendanon, Annie Glaser, Stella, Mr. van Kol, dll, menunjukkan, bahwa Kartini telah mulai bergerak memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia, jauh sebelum deklarasi tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan secara resmi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. Melalui media surat-menyurat, Kartini mengungkapkan pemikiran dan kegelisahan batinnya terhadap apa yang dialami oleh sebagian besar wanita Indonesia tradisional, seperti dirinya. Melalui tulisan-tulisannya, Kartini ingin agar wanita Indonesia bisa mendapatkan salah satu hak dasar mereka sebagai seorang manusia, yaitu berkesempatan mengenyam pendidikan sama seperti kaum pria, agar hidup mereka tidak sekedar berakhir di perjodohan dan poligami. Melalui tulisan-tulisan Kartini, Paul Bijl memandang, pemikiran dan perjuangan terhadap hak asasi manusia bukanlah dominasi barat semata, bangsa-bangsa di dunia ketiga, seperti Asia dan Afrika, di awal abad ke-20 telah pula berperan aktif dalam proses perjuangan penegakan hak asasi manusia secara global.
