Desa dalam imaji dan kenangan masyarakat selalu diidentikkan sebagai suatu tempat yang indah dan hijau. Masyarakatnya pun diasumsikan hidup dalam damai, nyaman, tenteram dan sejahtera. Imaji tersebut seringkali berbeda dengan kenyataannya, karena masyarakat desa dalam proses pembangunan tidak jarang terlibat dalam konflik, yang berakibat pada hilangnya kontrol dan akses terhadap ruang penghidupan mereka. Sebagai catatan, berdasarkan database yang dimiliki oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), antara tahun 1970-2001 saja terdapat 1.752 kasus konflik agraria yang tersebar di 2.834 desa/kelurahan. Sedangkan pada tahun 2014, terjadi 472 konflik agraria dengan luasan yang mencapai 2.860.977,07 hektar. Konflik ini melibatkan sedikitnya 105.887 kepala keluarga (KK). Konflik-konflik tersebut sesungguhnya bukan semata menyingkirkan masyarakat desa terhadap akses perekonomian, melainkan juga menyingkirkan mereka dari ruang hidup sosial dan budaya mereka, yang memperlihatkan identitas budaya masyarakat yang beragam di Indonesia.
Setahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 15 Januari 2014 telah ditetapkan Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Melalui Undang-undang ini, keberadaan desa diakui dan dijamin keberlangsungan hidupnya dalam Negara Republik Indonesia. Saat ini tercatat sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) desa di seluruh Indonesia, yang dapat dibedakan menjadi desa biasa dan desa adat. Keberadaan UU No. 6/2014 diharapkan akan mendorong perubahan di pedesaan dan pemberdayaan masyarakat desa dan masyarakat adat agar lebih berkeadilan. Perubahan ini dipahami dengan paradigma yang berbeda, yaitu desa tidak lagi diperlakukan sebagai unit organisasi politik dan pemerintahan semata. melaikan sebagai suatu unit organisasi sosial, ekonomi, dan budaya.
Dengan adanya pandangan yang mengikat masyarakat desa sebagai satu kesatuan ekonnomi, sosial dan budaya, maka penguasaan atas wilayah adalah suatu keniscayaan bagi masyarakat desa. Wilayah desa inilah yang sesungguhnya ruang hidup bagi masyarakat desa untuk mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya mereka. Dengan demikian salah satu hak mendasar yang seharusnya dipenuhi oleh negara adalah hak atas ruang hidup masyarakat desa (yang didalamnya tercakup pula hak ekonomi, sosial, dan budaya). Hal ini penting dilakukan apabila imaji tentang kehidupan desa yang “indah, damai, dan sejahtera” hendak dijadikan kenyataan.
Lembaga Kajian Indonesia (LKI), sebagai salah satu lembaga kajian yang berada di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia memiliki perhatian terhadap kajian indigeneous dan identitas budaya yang mengangkat perspektif keragaman budaya di Indonesia. Hal ini didasarkan pada bahwa Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia memiliki budaya yang beragam dan menyimpan banyak potensi. Keberagaman (diversity) sebenarnya membentuk Indonesia sebagaimana sekarang ini. Berangkat dari alasan di atas maka LKI-FIBUI mengadakan diskusi yang bertajuk “pengembangan desa yang berkeadilan dan berbudaya”.
Tujuan Diskusi
Diskusi ini bermaksud untuk berbagi pengalaman tentang pemberdayaan dan pengembangan pedesaan di Indonesia. Berbekal pertukaran ide dan pengalaman tersebut diharapkan akan didapatkan suatu rancangan aktivitas yang dapat dilakukan oleh LKI-FIBUI untuk pengembangan pedesaan, terutama dalam hal pemenuhan hak-hak budaya masyarakat desa. Selain itu, diskusi ini merupakan salah satu kegiatan rutin yang dilakukan oleh LKI-FIBUI.
Pelaksanaan
Diskusi ini akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal : Rabu, 18 Maret 2015
Waktu : 14.00-16.00 WIB
Tempat : Ruang 2401, Gedung 2, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Kampus UI Depok