Socrates, Rene Descartes, John Locke, J.P. Sartre, siapa yang tak kenal deretan nama-nama tersebut dan nama-nama besar filsuf Barat lainnya? Pemikiran-pemikiran mereka mengenai hakikat hidup manusia telah banyak dibahas, dikaji, dan dirujuk oleh akademisi dan kaum intelektual di Indonesia. Kajian-kajian mengenai pemikiran filsuf asing telah meramaikan ranah akademik Indonesia. Lalu, bagaimana dengan pemikiran-pemikiran yang berasal dari filsuf asli Indonesia? Apakah kita tidak memiliki tokoh filsuf yang pemikirannya layak untuk dibahas, dikaji, ataupun dijadikan bahan rujukan?
Tentunya Indonesia memiliki pemikir-pemikir besar yang layak disandingkan dengan tokoh-tokoh filsuf Barat. Salah satu di antaranya adalah Ki Ageng Suryomentaram. Nama Ki Ageng Suryomentaram mungkin masih terasa asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Penelitian dan kajian yang membahas mengenai pemikiran-pemikirannya pun masih tergolong sedikit, di antaranya adalah disertasi Dr. J. Darminta, S.J. di Universitas Gregoriana, Roma; tesis Drs. Darmanto Jatman di Universitas Gajah Mada; dan karya terjemahan wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram dalam bahasa Prancis oleh Marcel Boneff, seorang peneliti di Universitas Paris.
Padahal, hasil pemikiran Ki Ageng Suryomentaram, yang ia dapatkan dari perenungan panjang pengalaman hidupnya, merupakan manifesto berharga bagi perkembangan kajian filsafat Indonesia. Kejeniusan Ki Ageng tercermin dari pengejawantahannya tentang jiwa. Jiwa yang dijabarkan dengan begitu rumit dalam literatur tasawauf dan psikologi umum disederhanakan oleh Ki Ageng menjadi sebatas rasa yang mendorong semua makhluk dalam beraktivitas.
Lahir di Kraton Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1892 dengan nama asli Bendara Raden Mas Kudiarmaji sebagai putra ke-55 dari 79 putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII, Ki Ageng Suryomentaram diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram pada usia 18 tahun. Setelah menjadi pangeran, Ki Ageng menemukan ketidakpuasan diri karena merasa tidak pernah bertemu manusia yang sesungguhnya. Kehausan akan pencarian jawaban dari segala pertanyaan mengenai “manusia yang sesungguhnya” mengantarkan Ki Ageng pada keputusan untuk menanggalkan pakaian kebesarannya sebagai pangeran dan keluar dari lingkungan keraton.
Hasil perenungan panjang selama 40 tahun berujung pada penemuannya mengenai konsep kawruh begja. Ki Ageng Suryomentaram berpendapat bahwa manusia yang bahagia adalah manusia yang dapat “menjajaki dirinya sendiri”, melihat orang lain sebagai dirinya sendiri yang tidak bergantung pada tempat, waktu, dan keadaan. Dengan memahami konsep ini manusia akan dapat lebih menghayati hidup dengan penuh kesabaran dan penuh keberanian dalam menghadapi segala permasalahan dunia, saiki, ing kene, ngene!
Buah-buah pemikiran dari Ki Ageng Suryomentaram mengenai hakikat manusia ini dirangkum oleh Sri Teddy Rusdy, S.H., M.Hum., dalam buku yang berjudul Epistemologi Ki Ageng Suryomentaram, Tandhesan Kawruh Bab Kawruh. Buku ini mengupas konsep-konsep pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dari perspektif epistemologi dalam kajian filsafat ilmu. Buku ini akan menjadi santapan diskusi yang menarik dalam rangka memperkaya khazanah kajian filsafat, khususnya filsafat Jawa, di Indonesia.