Diskusi Ilmiah “Menuju Museum Pasca Etnografi di Abad 21”

IMG_5934

Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Kamis (07/05/2014) mengundang Dr. Clementine Deliss (Direktur Weltkulturen Museum-Museum Budaya Dunia, Frankfurt)sebagai narasumber Diskusi Ilmiah “Menuju Museum Pasca Etnografi di Abad 21.”

Di era yang serba modern dan canggih seperti saat ini, keberadaan sebuah museum etnografi bagi sebagian generasi muda masa kini berkesan ketinggalan zaman. Museum etnografi tidak lebih dari sebuah tempat dengan koleksi benda bersejarah yang tidak dapat menyatu dengan pemahaman mutakhir mengenai dunia pascakolonial dewasa ini. Apa yang dapat dilakukan agar generasi masa kini tertarik untuk mengunjungi kembali begitu banyak museum di Indonesia dan menghidupkan kembali berbagai koleksi lama dan membangun koleksi baru yang berlandaskan koleksi dari masa lalu?

Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Kamis (07/05/2014) mengundang Dr. Clementine Deliss (Direktur Weltkulturen Museum-Museum Budaya Dunia, Frankfurt) untuk berbagi pengalamannya menggeluti bidang Museologi, dalam sebuah Diskusi Ilmiah bertajuk “Menuju Museum Pasca Etnografi di Abad 21.”

Dalam acara diskusi yang digelar di Aduitorium Gd.X FIB UI ini, Dr. Clementine Deliss, yang meraih gelar Ph.Dnya di University of London, menyampaikan paparannya sebagai Direktur Weltkulturen Museum, Frankfurt – sebuah museum yang menangani koleksi lebih dari 67.000 artefak peninggalan sejarah dari Asia Tenggara termasuk Indonesia, Oseania, Afrika, dan kedua benua Amerika. Museum ini memiliki arsip gambar dan film berisi sekitar 120.000 dokumen, perpustakaan dengan lebih dari 50.000 buku dan jurnal, ditambah koleksi pelopor karya seni kontemporer Afrika yang diprakarsai pada pertengahan tahun 1980-an, sebelum terjadinya “global turn”. Sebagai Direktur Museum dan sebagai sosok yang pernah menekuni seni kontemporer dan antropologi sosial di Wina, London, dan Paris, Dr. Deliss menghadirkan ide-ide baru dalam menghidupkan kembali “denyut nadi” aktifitas museum yang dipimpinnya, dengan cara menggabungkan seni kontemporer dengan ilmu dan kajian museologi. Ia mengundang para seniman dan ilmuwan tamu untuk bekerja menangani berbagai koleksi milik museum di laboratorium guna menghasilkan interpretasi baru dalam kaitan dengan objek-objek terpilih. Kerja yang dilakukan di museum itu berujung pada pengadaan pameran yang memperagakan baik artefak peninggalan sejarah maupun karya seni baru yang belum rampung. Museum etnografi yang semula mati suri pun menjadi institusi yang riuh dan bergejolak, tempat rumusan baru pemahaman lintasbudaya tercipta melalui benturan antara referensialitas dan implementasi konstruktif anakronisme.

Related Posts